Jumat, 09 Februari 2018

Menitipkan Mimpi Pada Sekolah

Menitipkan Mimpi Pada Sekolah

Tahun 1987, saat itu aku duduk di bangku TK, berseragan atasan baju berwarna putih, bawahan rok hijau. Setiap pagi di antar sekolah oleh ibu sampai depan gerbang sekolah. Saat itu ,aku ingat betul, aku punya mimpi bisa mlebu radio, sebuah kegiatan unjuk kebolehan siswa siswi TK menggunakan media radio. Dahulu TK ku biasa siaran (demikian istilahnya) di Radio Siaran Pemerintah Daerah (RSPD) Purbalingga. Akhirnya, kesempatan itu datang, di suatu hari aku siaran langsung di radio menghafal Surat Al Ikhlas. Ibu berkisah, konon katanya orang serumah meneteskan air mata haru mendengar suaraku. Sebuah kebanggaan bagi mereka. Pulang dari siaran itu, kuterima uang seratus rupiah dari nenek, bahagianya sungguh luar biasa.

Sepuluh tahun kemudian, tahun 1997, aku sudah duduk di bangku SMU, di sekolah ini tak lagi kutitipkan mimpiku semata, tapi ada mimpi bapak dan ibu yang turut serta di dalamnya dan sering tersebut di setiap doa. Mereka menitipkan mimpi supaya aku bisa masuk Fakultas Kedokteran. Mimpi yang agak sedikit berbeda dengan mimpiku. Tapi mimpiku dan mimpi mereka tak pernah bersiteru, dan  pada akhirnya mimpi kami tak ada yang mewujud mengikutiku. Dua kisahku itu, mungkin sudah bisa menunjukkan bahwa setiap bangku di sebuah sekolah itu punya mimpi tersendiri bagi yang mendudukinya. 

Mari merapat ke SMP Negeri 3 Kutasari, sebuah institusi tempat belajar dengan jumlah siswa 306 anak tahun ini. Di bawah didikan dan ajaran 16 orang guru, dibantu secara administratif oleh 8 staf TU, SMP Negeri 3 Kutasari menjadi tempat pilihan menitipkan mimpi. Seharusnya...
Mengapa seharusnya? Karena ada satu dua cerita yang membuat bangunan penitipan mimpi ini tak berfungsi sebagaimana mestinya.

Sebutlah seorang siswa bernama Panda, duduk di Kelas IX, lebih dikenal sebagai siswa yang bandel, sering membolos, tidak konsentrasi belajar, suka cari perhatian, dan catatan cataan lain yang kurang bagus semua tentangnya. Tapi catatan-catatan itu terkadang kurang lengkap, beberpa perlu dilengkapi agar Pandu bisa nyaman menitipkan mimpinya di sekolah. Beberapa catatan tentang Pandu yang berusaha kulengkapi :
  1. Pandu tidak pernah infak setiap hari jumat, itu karena ia tidak pernah diberi uang saku oleh orang tuanya.
  2. Pandu sering membolos sekolah karena harus mengasuh adiknya yang masih balita ketika ditinggal ibunya bekerja.
  3. Pandu sering terlambat sekolah karena sering bangun kesiangan akibat membantu lemburan pekerjaan ibunya.
  4. Pandu selalu telat membayar iuran sekolah dan tidah pernah membeli LKS itu karena ayahnya yang sepi pekerjaan
  5. Pandu suka cari perhatian karena mungkin permasalahan di rumah sedemikian menganggu kesenangan masa kecilnya
  6. Pandu banyak bicara saat pelajaran karena mungkin ia butuh untuk didengarkan
Suatu hari kutanya Pandu, apa mimpimu? Dan dia menjawab tak punya mimpi apapun. Dia hanya ingin segera menyelesaikan sekolah lalu bekerja untuk keluarga. Ah, Pandu... bukankah itu juga mimpi...mimpimu tak berlebihan...tapi tak menggairahkan

Kasus Pandu di atas, hanya satu dari sekian banyak kisah yang menari-nari di SMP Negeri 3 Kutasari. Masih banyak hal yang perlu dibenahi, menjadikan sekolah sebagai tempat menitipkan mimpi ternyata tidak mudah. Apalagi untuk komunitas lingkungan yang tak punya banyak pilihan akan mimpi, terkunci oleh kemiskinan dan kisah hidup miris lainnya.

Namun setidaknya, ketika sekolah tak lagi menjadi tempat untuk menitipkan mimpi, jadikanlah sekolah sebagai tempat paling menghibur dan paling menyenangkan bagi orang-orang yang tak punya mimpi....


Kutasari, 10 Februari 2018
Dalam Mendung Sabtu Menghitung Mimpi
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

About