|
Larva Tour |
Yogyakarta (Tanpa Judul)
(Cerita Laporan Perjalanan Wisata Studi Aku, Kamu, Kita dan Anak-anak Spentriku)
Oleh : Anjar Subekti, S.Pd
Mohon
maaf apabila terdapat kesamaan nama tokoh, watak, dan tempat.
Semata-mata karena disengaja, apa adanya, serta bukan fiktif belaka.
Sepinya
malam bukan menjadi halangan untuk menyusuri jalanan menuju ke sekolah
tempat aku mengabdikan diri, yang letaknya cukup dekat dari rumah orang
tuaku, hanya terpaut satu desa tepatnya di Desa Karangjengkol. Walaupun
hampir setiap hari melewati jalannya, agaknya berbeda karena kali ini
aku melewatinya pada malam hari yang tentu akan terasa lebih dingin.
Menaiki motor Honda Vario hitam, pemberian dari bapak yang dibelikan
pada saat dulu aku pertama masuk kuliah, dengan kecepatan yang cukup
sedang, aku diantar oleh adik laki-laki. Bukan karena tidak berani
sendirian, tetapi kali ini aku sengaja untuk tidak membawa motor.
Pernahkah
kamu berkunjung ke Desa Karangjengkol? Desa yang terletak diujung
sebelah utara Kecamatan Kutasari, Kabupaten Purbalingga. Bisa dibilang
terletak di kaki Gunung Slamet, siang hari pun terasa dingin, apalagi
jika malam hari?Kulihat jam tangan yang masih tergolong baru karena
belum lama aku membelinya, waktu menunjukan pukul 21.55 WIB ketika tiba
di SMP N 3 Kutasari (baca: Spentriku). Disambut sorotan cahaya lampu
yang cukup terang, kubuka gerbang sekolah yang ternyata tidak digembok
(baca: kunci). Mungkin Pak Dahlan, yang tidak lain adalah seorang yang
bertugas menjaga sekolah, sengaja tidak mengunci gerbangnya karena tahu
jika anak-anak kelas VIII sebentar lagi akan datang. Lah, untuk apa
malam-malam yang dingin kok pergi ke sekolah? Ya... Sesuai rencana,
malam ini siswa kelas VIII akan berangkat ke kota Yogyakarta, kotanya
pelajar.
Bagi anak-anak yang sudah pernah ke Jogja,
tidaklah asing pengetahuan akan tempat-tempat wisata yang ada di sana.
Kali ini siswa kelas VIII akan melaksanakan studi wisata, menuju ke kota
Jogja dan sekitarnya. Yah... tentu mereka semua merasakan senang, tak
terkecuali yang sudah pernah ke Jogja. Malam semakin larut, ketika para
siswa mulai berdatangan diantar oleh orang tuanya masing-masing.
Dijadwalkan mereka akan berangkat dari sekolah menuju ke tempat studi
wisata pukul 23.30 WIB. Didampingi oleh bapak dan ibu guru, termasuk
diriku.
Aku mencoba mendekati anak-anak, menanyakan kesiapan mereka mengikuti studi wisata. “
Udah nggak sabar pak, nyampai di Jogja”.
Jawab salah satu dari mereka. Ya... antusias mereka memang cukup
tinggi, apalagi jika kaitannya dengan berwisata. Hingga pada akhirnya,
jam menunjukan pukul 23.20 mendekati tengah malam, dua armada Bus
Lestari Muda tiba di depan sekolahku tercinta. Jalan terasa penuh sesak
karena orangtua dan wali murid yang mengantar anak-anaknya masih
menunggu. Ada juga yang berada di area dalam sekolah, tetapi tak sedikit
pula yang berada di pinggir jalan dan di area gerbang sekolah. Mungkin
mereka tidak akan beranjak sebelum bus yang membawa anak-anaknya pergi.
Ya... benar saja, sekitar jam 12 kurang 15 menit malam ketika bus mulai
melaju sesuai tujuannya, mereka pun yang searah dengan lajunya bus
mengiringi di belakangnya, tetapi tidak sampai ke Jogja, hanya
memastikan saja kalau anaknya sudah berangkat.
Aku
bersama ke tujuh bapak dan ibu guru yang lain, juga mengikuti di
belakang bus, kami menaiki mobil jenis Elf milik Pak Kuswanto yang
beliau juga sebagai sopirnya. Kenapa kami tidak ikut sekalian di bus
bersama anak-anak? Jawabannya karena sudah tidak tersisa kursi yang
kosong. Ketika bus sudah mulai melewati jalanan kota, kecepatan laju bus
pun kian meninggi. Hingga kami semakin tertinggal cukup jauh di
belakangnya. Kami yang berdelapan menaiki mobil, kehangatan pun mulai
terasa dengan saling melucu ataupun saling meledek satu sama lain,
meskipun ada juga yang memilih untuk tidur. Sedang hangatnya kelucuan
yang diadakan dalam mobil, tiba-tiba hal yang tak diinginkan pun
terjadi. Dikarenakan jalanan yang berlubang (baca: rusak) dan mungkin
karena kurang kehati-hatian, hingga tak disangka ban belakang sebelah
kiri meletus, tepat di daerah Rowokele Kebumen. Kamipun terdiam sejenak
merenungi kejadian tersebut, aku mengumpat dalam hati “
kenapa bannya harus meletus?”. Seperti tidak terima dengan yang sedang kami alami.
Mobilpun
menepi mencari tempat yang sekiranya aman untuk mengganti ban.
Peralatan bengkel mulai dicari - dipersiapkan; dongkrak, kunci-kunci
dll. Kami saling membantu, ada yang megang senter hp guna menerangi
penggantian bannya, ada yang masang dongkrak, dan akupun ikut membantu
melepas baut yang mengikat ban. Mobil kembali melaju setelah kurang
lebih sekitar 45 menit mengganti ban, kok lama juga ya? Ya begitulah,
karena kami lumayan mengeluarkan tenaga hingga butuh istirahat setelah
mengganti ban. Aku dapat menebak kalau rombongan bus yang membawa
siswa/siswi pasti terus melaju, hingga semakin jauh jaraknya dengan
mobil yang kami tumpangi. Ya sudahlah, mari bergembira kembali di dalam
mobil.
Di saat waktu kian menuju ke dini hari, rasa
kantuk mulai terasa, hingga aku memilih tuk memejamkan mata, kami atur
sedemikian rupa, gantian jangan sampai semua tertidur, maksudnya biar
pengemudi (baca: sopir) tetap ada yang menemani tuk sekedar ngobrol.
Sayup-sayup terdengar suara adzan shubuh dikumandangkan, hingga Pak Kus
memutuskan untuk berhenti di sebuah masjid guna melaksanakan sholat
shubuh. Kami semua turun dari mobil, meskipun mata masih terasa berat.
Jam
menunjukan pukul 04.45 pagi saat kami kembali menikmati perjalanan,
sebelumnya terjadi percakapan antara Pak Kus dengan tukang parkir,
menanyakan kepastian jarak yang jika melihat
google maps sudah
lumayan dekat dengan tujuan wisata studi yang pertama. Sementara
rombongan bus yang membawa anak-anak dan guru lainnya sudah sampai di
Merapi Jeep Lava Tour.
Ya itulah tujuan pertama perjalanan kami. Sebelum nanti ada tujuan
kedua, ketiga dan seterusnya. Malam mulai berganti terang, mobilpun kian
melaju dengan ritme yang menegangkan. Loh ada apa? Ternyata tanpa
disadari kampas rem mobilnya habis, sehingga ketika mobil ngerem harus
selalu pakai rem tangan. Cukup berbahaya, tetapi Pak Kus termasuk handal
dalam mengendarai mobilnya, sehingga tak begitu menjadi masalah, kami
pun tetap bergembira.
Koordinasi lewat
medsos
terus dilakukan dengan guru lain yang sudah tiba dilokasi, ternyata
mobil yang kami tumpangi sudah kian dekat dengan lokasinya. Pemandangan
mobil-mobil Jeep dan Gunung Merapi mulai nampak, ya kita sudah tiba di
parkiran pintu masuk
Merapi Jeep Adventure Kedungsriti. Setibanya
kami langsung disambut oleh Crew MJAK, dan diajak untuk menaiki mobil
Jeep yang sudah disediakan. Sementara anak-anak dan guru yang sudah
sampai duluan, juga sudah mulai ber-offroad ria naik Jeep menyusuri
jalanan terjal, berkelok-kelok menuju kaki Gunung Merapi. Jujur ini
pengalaman pertamaku naik Jeep, yang katanya dari kecil semacam
didoktrin kalau mobil Jeep berarti mobil penculik, dan sampai sekarang
aku tak tau kenapanya. Tapi nyatanya aku dan guru yang lain tidak
diculik, berarti doktrinnya salah. Hahaha.... tertawaku di dalam hati.
Suasana
alam pegunungan terasa begitu hangat, mencairkan hati yang beku, dan
yang pasti aku menjadi berpengalaman naik Jeep. Sungguh bahagia, ya
memang harus bahagia. Namanya juga berwisata, pasti membahagiakan.
Pengemudi Jeep terlihat sudah begitu handal, terbukti walaupun jalanan
terjal, tetapi kami yang menaikinya tetap terasa nyaman.Belum lama kita
menikmati perjalanan, Jeep berhenti, di sampingnya terdapat makam-makam,
ternyata ini makam para korban erupsi Merapi 2010 lalu. “Semoga di
tempatkan di tempat yang terbaik oleh-Nya, aamiin”. Doaku dalam hati.
Spot
pertama yang bisa buat ajang selfie yaitu pemandangan Batu Alien
peninggalan bekas erupsi, dipadu dengan pemandangan alam yang melimpah
berupa pasir dan bebatuan, serta pemandangan besarnya Gunung Merapi.
Ya... Kita memang Sedang berada di kaki gunung. Setelah puas berfoto
ria, pengemudi Jeep mengajak kami mengunjungi spot berikutnya. Bunker
Kaliadem merupakan tempat berlindung bagi warga dari luapan banjir lahar
Merapi atau biasa disebut Wedus Gembel. Tetapi konon katanya Bunker ini
tidak berfungsi sebagaimana mestinya, ketika erupsi besar 8 tahun lalu,
bunker ini terkubur material Merapi, ada beberapa warga yang ikut
terkubur di dalamnya, sungguh mengerikan. Pasca erupsi, bunker ini dapat
ditemukan kembali walaupun butuh waktu cukup lama dan alat berat untuk
mengeruk material tebal yang menguburnya.
Aku mencoba
menanyakan seputar Merapi pada pengemudi Jeep, “bekas rumah mbah Marijan
di mana mas? Apa ikut tertimbun material Merapi juga?” tanyaku. “kita
tidak melewatinya mas, ya mbah Marijan juga ikut jadi korban, padahal
beliau juru kunci Merapi, sekarang juru kunci turun ke anaknya”
jawabnya. Jika melihat dampaknya, aku tidak bisa membayangkan begitu
luar biasanya luapan lahar Merapi saat itu, walaupun sekarang sudah
membawa keberkahan dengan benyaknya wisatawan yang berkunjung. Tuhan
Maha Segalanya, jika berkehendak terjadi maka terjadilah, tak ada yang
bisa menahannya, dan beserta kesulitan akan ada kemudahan.
Matahari
mulai meninggi, disaat Jeep membawa kami ke sebuah rumah makan, ya
ternyata kami semua belum sarapan. Tempat makan ini menjadi tempat
terakhir kami di sekitar Merapi, sebelum kemudian melanjutkan perjalanan
beserta anak-anak Spentriku menuju ke Candi Prambanan, salah satu situs
warisan budaya yang mendunia. Sementara Pak Kus memilih untuk membawa
mobilnya ke bengkel, maklumlah memang harus diservis. Di dalam komplek
candi, aku ikut bersama anak-anak, tetapi tidak sampai naik ke dalam
candi, cuaca cukup panas menjadi salah satu alasan kenapa aku tidak naik
ke dalam candi, anak-anak kembali dibebaskan untuk mengeksplor (baca:
mempelajari) apa yang mereka lihat dan amati. Dari panitia membatasi
waktu di Candi Prambanan sampai jam setengah satu siang, cukup lama bisa
sambil beristirahat. Tak lupa kesempatan yang ada aku manfaatkan tuk
berfoto, ya memang foto itu penting sekali, guna mengabadikan
momen-momen yang tak terlupakan.
Puas berfoto ria di
dalam komplek Candi Prambanan, anak-anak Spentriku mulai terlihat
kelelahan, “panas, laper pak” ungkap salah satu dari mereka. Ya akupun
merasa demikian. Pak Afik, guru Olahraga yang sekaligus membidangi
Kesiswaan Spentriku mengomando anak-anak agar berkumpul di dekat
parkiran bus guna istirahat dan makan siang. Dengan lesehan tikar, kami
dan anak-anakpun menikmati udara siang Prambanan, sambil menyantap makan
siang. Jam menunjukan pukul setengah satu, aku kepikiran ternyata belum
menunaikan kewajiban Sholat Dzuhur. “Sholat ke mushola yuk!” ajak Pak
Arsyad, yang tak lain adalah Kepala Sekolah Spentriku. (Sedikit cerita,
beliau dikatakan mirip sosok dokter oleh salah satu ibu guru senior
Spentriku, lucu bukan? Heuheu). Tapi kemudian Pak Afik berkata,
“sholatnya di musium Dirgantara saja setelah ini”.
Tepat
jam 1 siang, kami semua melanjutkan perjalanan, masih di Daerah
Istimewa Yogyakarta, kotanya pelajar, yang selalu dan tetap istimewa.
Kali ini menuju ke Musium Dirgantara, menambah pengetahuan tentang dunia
pesawat dan penerbangan. Tak butuh waktu lama, hanya sekitar 20 menit
kamipun sampai di musium. Tak beda dengan musium-musium pada umumnya, di
sini ramai pengunjung yang kebanyakan para pelajar. Dengan antusias
yang cukup tinggi, Anak-anak semuanya langsung menuju ke dalam musium.
Durasi di sini, kurang lebih satu jam, cukup lah bagi anak-anak menambah
ilmunya.
Lelah mulai terasa hinggap dalam tubuhku,
dan juga anak-anak yang terlihat tak bisa menyembunyikan lelahnya.
Setelah dirasa cukup berada di Musium Dirgantara, sekitar jam setengah 3
sore bus dan mobil Elf kembali melaju membawa kami menuju Pantai
Parangtritis (baca: Paris) hehehe. Dalam rundown acara, kita semua di
Parangtritis dari sore hingga esok hari, “yes akhirnya bisa istirahat
menyelonjorkan badan”, sorak ku dalam hati. Setibanya di pantai yang
menurutku sudah tidak begitu terawat karena banyak sampah berserakan tak
beraturan, dari pihak Ayunda Tour yang sebagai Biro perjalanan langsung
mencarikan tempat menginap (baca: Losmen) untuk kami semua. Ternyata
tempat menginap kami berpencar, karena tak mungkin semua ditampung dalam
satu tempat. Aku bersama Mbah Soleh, dan Pak Budisan menemani siswa
laki-laki, tepatnya di Losmen Parikesit. Sedangkan siswa perempuan
didampingi oleh bapak-ibu guru yang lain.
Losmen ini
lumayan nyaman untuk beristirahat, tapi termasuk paling jauh jaraknya
dengan pantai, dibanding losmen yang ditempati anak-anak perempuan dan
bapak ibu guru yang lain. Setelah cukup beristirahat, membersihkan diri,
dan melaksanakan kewajiban sholat, aku mengikuti anak-anak yang
ternyata sudah mendahului pergi tuk bermain dipantai. Dengan berjalan
kaki, aku bersama Mbah Soleh dan Pak Budisan menuju ke pantai tepat jam 5
sore, sambil ngobrol menikmati langkah demi langkah. Walaupun sore
hari, tetapi tetap ramai pengunjung. Tak lupa, dengan menggunakan Hape
Xiaomi (karna tak punya kamera Canon) aku minta tolong pada Pak Budisan
untuk sekedar mengabadikan momen di sini, lumayan bagus pemandangan
laut, pasir dipadu dengan sunset walaupun tak terlihat tajam. Hari kian
petang, hingga kami pun memutuskan kembali ke losmen.
Malam
hari suasana di sini cukup asyik untuk ngobrol hangat, bareng Pak
Budisan, Mbah Soleh dan kita kedatangan Pak Arsyad yang rela berjalan
kaki mendatangi losmen yang aku tempati. Ditemani suara ombak yang
terdengar bergemuruh, sambil tak lupa mengawasi anak-anak agar tetap
menjaga tata krama dan tidak seenaknya sendiri. Tak disangka, hujan
turun lumayan deras menambah suasana hangat, hingga tak sadar sudah jam
10 malam. “Aku balik nang losmenku ya”, kata Pak Arsyad melangkahkan
kaki kembali ke losmen yang beliau tempati. Setelahnya, aku memutuskan
untuk tidur karena sadar tubuh ini butuh istirahat. Yah... sekasur
bertiga pun tak jadi masalah.
Terbangun dari tidur
ketika kulihat Mbah Soleh sedang bersiap tuk melaksakan Subuh, akupun
segera bangkit menyadarkan diri. Ya... ternyata sudah jam setengah 5
pagi. Setelah melaksanakan Subuh, raga ini tertarik kembali tuk
menyaksikan pemandangan pantai pagi hari. Ternyata pak Arsyad, sudah
mengomando di grup
Whatsapp agar para guru beserta karyawan
menemani siswa yang lagi-lagi sudah lebih dulu berada di pantai.
Meskipun hari masih terlalu dini, pantai ramai pengunjung yang sebagian
besar wisatawan luar daerah. Kali ini saya mengajak Mbah Soleh dan Pak
Budisan untuk mencoba motor roda empat yang memang disediakan tuk
disewa. Ada yang ukuran sedang, ada juga yang ukuran besar. Kita bertiga
iuran tuk menyewanya, maksud hati ingin menyewa yang besar tetapi harga
sewanya lumayan mahal menurutku, akhirnya mencoba yang ukuran sedang,
“lumayanlah ngobatin rasa penasaran”kataku. Kita diberi waktu 20 menit
untuk sekali sewa, aku mencoba giliran pertama, dilanjut oleh Pak
Budisan, lalu Mbah Soleh pun tak mau ketinggalan mencobanya. Sungguh
bahagia aku melihatnya.
Puas berada di Parangtritis,
kami bersiap tuk melanjutkan wisata studi ke tempat berikutnya setelah
mandi dan sarapan. Kulihat jam setengah 8 pagi, ketika bus dan mobil Elf
mulai melaju menuju ke Taman Pintar Yogyakarta. Seperti biasa aku ikut
menumpang mobil, dan kami kembali bernyanyi bersama. Bahkan diabadikan
dalam video pendek, seru bukan? Jaraknya tak terlalu jauh, sekitar 40
menit dari sini. Sebelum sampai di Taman Pintar, jalanan ramai hingga
bus yang membawa anak-anak cukup lama untuk menentukan tempat brenti
(baca: parkir). Aku yang menaiki mobil, tiba lebih dulu, hingga ada
waktu tuk sekedar foto-foto di area depan taman pintar. Setibanya di
sini, anak-anak Spentriku cukup antusias untuk segera masuk ke dalam
gedung taman pintar, namanya taman pintar pastinya bikin kita pintar, ya
kan?
Matahari mulai terasa kehadirannya, tanpa sadar
jam sudah setengah 11 siang ketika kami keluar dari taman pintar.
Setelah ini melanjutkan untuk mencari oleh-oleh khas Jogja, yah...
Malioboro menjadi tempat terakhir kami beserta anak-anak berada Kota
Pelajar. Anak-anak Spentriku dibebaskan untuk memilih sendiri apa yang
ingin dibeli. Aku diajak untuk menemani Pak Afik beserta Pak Indra,
berjalan dengan langkah cukup cepat menuju ke Malioboro, pemandangan
pedagang sekaligus dagangannya terlihat di sana-sini. Bakpia dan kaos
ala Jogja aku rasa cukup untuk oleh-oleh. Begitupun dengan Pak Indra dan
Pak Afik kurang lebih oleh-oleh yang dibeli sama. Bedanya adalah untuk
siapa oleh-oleh itu diberikan nantinya, secara mereka kan sudah punya
istri bahkan Pak Afik sudah punya Anak perempuan. Loh kok aku jadi
terbawa perasaan (baca: baper) ya? Ah sudahlah, tak apa itu boleh-boleh
saja.
Kulihat jam tanganku, ternyata sudah jam 2 siang
ketika kami semua diminta untuk kembali menuju kendaraan untuk makan
siang. Sebelumnya kami menyempatkan sholat Dzuhur terlebih dahulu,
dilanjutkan makan. Puas, lelah, namun tetap gembira dari hari Jumat
malam hingga sekarang sudah hari minggu (baca: Ahad). Tiba saatnya untuk
kami meninggalkan Jogjakarta, kembali ke Purbalingga. Ya... sejauh
apapun kita pergi, pasti akan kembali ke tempat di mana kita tinggal dan
berasal (kalimat ini sungguh dalam maknanya). Tak lupa cerita ini aku
tutup dengan ucapan; “Selamat tinggal Jogja, kau akan tetap istimewa,
semoga kita bisa bertemu lagi dengan cerita menarik lainnya”.