TIGA PUTRA RAJA
Alkisah
di sebuah negeri, terdapat kerajaan bernama Kerajaan Maranata. Kerajaan
itu dipimpin oleh seorang raja bernama Raja Awacela. Baginda adalah
raja yang sangat bijaksana. Ia sangat dicintai rakyatnya. Di bawah
kepemimpinannya Kerajaan Maranata tumbuh menjadi kerajaan yang makmur,
aman dan disegani oleh kerajaan tetangga. Raja Awacela memiliki tiga
orang putra. Putra pertama bernama Awatu, putra kedua bernama Awada, dan
si bungsu bernama Awaga. Ketiga putra raja memiliki paras rupawan,
pandai dan menguasai ilmu bela diri dengan baik.
Suatu
hari Raja Awacela tampak merenung murung di kebun belakang istana.
Melihat suaminya sedang bernuram durja, permaisuri raja, Ratu Awari
mendekati baginda raja.
"Salam hormat baginda, bolehkah saya tahu kenapa baginda bermuram durja?"
Raja Awacela menoleh ke arah suara. Tampak Ratu Awari sudah berada di belakangnya.
"Oh...kau di sini rupanya. Mari, duduklah di sini istriku." Raja Awacela mempersilahkan Ratu Awari duduk di sampingnya.
"Aku
sedang memandang burung gereja liar itu Ratuku, mereka begitu bebas
beterbangan riang gembira mencari makan." Baginda raja diam sejenak,
diliriknya wajah Ratu Awari yang juga tampak memandang puluhan Burung
Gereja liar tak jauh di hadapannya.
"Aku
memikirkan ketiga anakku, apakah kelak mereka bisa bergembira dalam
kehidupannya?Apakah mereka bisa bertahan hidup seandainya mereka bukan
lagi putra seorang raja?"
"Kenapa Baginda berpikir sampai sejauh itu?"
"Ratuku...hakekat
kita ada dalam kehidupan ini adalah tiada berhak merasa memiliki
apapun. Tahta, harta , dan jalan hidup yang kita jalani sebatas
kebetulan dan keberuntungan nasib yang diputuskan untuk kita"
Baginda
bangun dari kursinya, ia berjalan perlahan mendekati kumpulan burung
gereja dan seketika burung-burung liar itu beterbangan menjauh dari
baginda.
"Bukankah anak-anak kita adalah anak yang cerdas baginda. Tak perlu merisaukan kemampuan mereka dalam menjalani kehidupan ini"
"Memang
benar demikian, Ratu. Namun kecerdasan mereka diperoleh karena mereka
berkesempatan belajar dari sumber-sumber belajar terbaik di negeri ini.
Mereka mendapatkan pengajaran dari guru-guru terpilih terbaik di
bidangnya. Tapi bukankah guru terbaik adalah kehidupan itu sendiri?"
"Apa yang baginda inginkan?"
"Aku
ingin mereka belajar bukan dari gurunya manusia ataupun kelasnya
manusia, mereka harus bisa belajar dari kehidupan yang maha luas. Aku
ingin mereka pergi ke luar istana, menyamar menjadi rakyat biasa selama 7
hari untuk mendapatkan nilai luhur kehidupan. Apakah kau menyetujuinya,
Ratuku?"
"Baginda,
sebagai ibu hamba pun menginginkan anak-anak hamba memperoleh nilai
luhur tersebut. Hamba menyetujui keinginan baginda raja."
Pagi hari sesudah sore itu...
Raja Awacela memanggil ketiga putranya. Awatu, Awada dan Awaga tampak duduk berdampingan di hadapan Raja Awacela.
"Salam hormat dari kami, Ayahanda." Awatu memberi salam mewakili kedua adiknya.
"Semoga
Yang Maha Kuasa memberkati kalian semua." Baginda mengangkat tangan
kanannya sebagi isyarat doa dan restu untuk ketiga anaknya.
"Kiranya apa yang akan Ayahanda sampaikan kepada kami bertiga?"
"Anak-anakku...usiaku
sudah semakin tua, orang bijak berkata bahwa usia tua adalah pertanda
dekat tutup usia, meski ajal sendiri tak tergantung oleh bilangan umur
manusia. Aku khawatir di sisa usiaku, aku belum memberikan bekal hidup
apapun kepada kalian."
Raja menatap satu persatu putranya yang tampak diam hormat berwibawa.
"Aku ingin kalian pergi belajar...bukan pada guru manusia, tapi belajar pada guru kehidupan."
"Apa yang harus kami lakukan, Ayahanda?" Awaga, si bungsu, membuka suara.
"Pergilah
kalian belajar pada kehidupan yang sebenarnya, keluarlah dari kerajaan
selama 7 hari, jadilah rakyat biasa, ambilah sebuah nilai luhur dari
kehidupan luar istana yang kalian jalani."
Raja Awacela menghirup nafas panjang, sebagai isyarat kelegaan telah mengungkapkan keinginannya.
"Apa kalian bersedia?" tanya baginda kepada ktiga putranya.
"Daulat Ayahanda, tentu saja kami bersedia." Awatu menjawab diikuti anggukan kepala kedua adiknya.
Pagi hari setelah pertemuan Raja Awacela dan ketiga putranya...
Awatu,
Awada, dan Awaga ke luar istana. Mereka menyamar sebagai rakyat biasa.
Awatu memilih bekerja sebagai pembuat tombak di ujung timur kerajaan.
Awada memilih menjadi pedagang hewan buruan di pasar kerajaan. Sedangkan
Awaga bekerja sebagai pembantu tukang masak di sebuah warung makan
ternama di pusat Kerajaan Maranata. Kebijakan dan kebajikan yang telah
dibekalkan kepada mereka sebelumnya, membuat mereka bersungguh-sungguh
menjalani peran masing-masing untuk sebuah nilai luhur yang harus mereka
temukan. Tak ada peran yang salah dalam kehidupan ini, semua peran
sudah ditentukan olehNya dan semua pemeran sudah disesuaikan dengan
bekal kekuatan yang diberikan olehNya.
Tujuh hari berlalu...
Hari
ini ketiga putra raja sudah kembali ke istana. Ratu Awari tampak yang
paling haru menyambut kepulangan mereka. Menahan kerinduan pada anaknya
selama tujuh hari bukanlah hal yang mudah bagi seorang ibu. Baginda pun
tampak begitu bahagia, tetapi wibawanya menutupi raut muka bahagianya.
Tak berapa lama ketiga putra raja telah duduk kembali di tempat yang
sama mereka duduki tujuh hari lalu.
"Selamat datang kembali di istana, Putraku semua. Yang Maha Kuasa memberkati kalian' Baginda memberi salam terlebih dahulu.
"Salam hormat dari kami, Ayahanda." Awatu membalas salam Baginda.
Tak
banyak yang berubah dari penampilan tiga putra raja tersebut, kecuali
kulit Awada yang tampak lebih hitam, dan tangan Awatu yang tampak
sedikit kasar.
"Bagimana
dengan sekolah kalian, apa yang kalian dapatkan dari kehidupan di luar
sana?" Baginda tak sabar ingin medengar cerita dari mereka.
"Berceritalah bungsuku Awaga..." Baginda memerintahkan Awaga untuk bercerita pertama kali
"Baiklah, Ayahanda." Awaga mulai bercerita.
"Hamba
selama tujuh hari bekerja sebagai pembantu tukang masak di sebuah
warung makan, tugas hamba adalah menyiapkan bahan dan bumbu masakan yang
akan digunakan oleh tukang masak. Menu yang paling laris di warung itu
adalah Sop Lemak Beledah. Untuk membuatnya dibutuhkan dua puluh tiga
jenis rempah. Jika salah satu rempah tidak ada, hambarlah rasa masakan
itu. Dan dari hal itu hamba mendapatkan sebuah nilai keluhuran."
"Apakah nilai yang kau peroleh?"
"Bahwa
apabila kita berkesempatan memimpin dua puluh tiga orang dalam suatu
pemerintahan, maka kita tidak boleh meremehkan peran masig masing. Semua
berkepentingan dalam memajukan kerajaan, tidak ada peran kecil, tidak
ada peran besar, semua punya peran yang unik, saling ketergantungan
bersinergi satu dengan yang lainnya." Awaga bercerita dengan penuh
semangat.
"Demikian Ayahanda, Awaga dapat nilai luhur tentang kesinergian." Awaga menutup ceritanya
Baginda tampak mengangguk anggukkan kepala bermahkotanya.
"Kisah yang bagus Awaga." Puji baginda raja.
"Giliranmu Awada. Apa kisah tujuh harimu?" Lanjut baginda
"Hamba
selama tujuh hari kemarin menjadi penjual hewan buruan, setiap sore
hamba berburu di Hutan Rabada di wilayah utara kerajaan. Terkadang dapat
babi hutan, rusa, ayam hutan dan beberapa hewan buruan lainnya. Hewan
buruan itu hamba jual keesokan harinya di Pasar Kerajaan."
"Sedari kecil kau paling suka berburu." Raja tersenyum mendengar cerita Awada.
"Nilai apa yang kau dapatkan, Anakku.?"
"Ayahanda...hamba
pernah sehari tidak dapat menangkap hewan buruan satu pun. Itu
dikarenakan karena ketidakfokusan hamba dan keserakahan hamba. Ketika
hamba sedang mengejar rusa, tampak babi hutan di sisi lain, kemudian
hamba berambisi mengejar keduanya...tapi yang terjadi hamba kehilangan
keduanya. Nilai luhur yang hamba dapatkan adalah ambisi yang berlebihan
bisa menggagalkan kesuksesan yang sudah di depan mata."
Raja Awacela bertepuk tangan, sorot mata bangga terpancar jelas.
"Ceritamu tak kalah bagus dari adikmu, Awada." kata baginda.
"Terima kasih Ayahanda." jawab Awada
"Tiba giliranmu,Sulungku" Raja Awacela menunjuk Awatu.
Awatu memberi hormat lalu mulai bercerita,
"Hamba
memilih menjadi tukang pembuat tombak di Desa Morsai. Hamba membuat
tombak sesuai permintaan pemesannya. Tombak yang bagus adalah tombak
yang seimbang ketika diangkat. Dan demikianlah sehingga hamba sering
mengangkat tombak untuk menguji keseimbangannya. Pada mulanya hamba
kesulitan menemukan nilai luhur dari pekerjaan hamba, sebelum akhirnya
hamba menyadari ketika hamba mengangkat satu ujung tombak maka ujung
yang lain pun ikut terangkat...bukankah itu yang dimaksud dengan selalu
ada konsekuensi atas tindakan yang kita lakukan?Demikian yang dapat saya
pelajari, Ayahanda." Awatu mengakhiri ceritanya.
"Prok...prok...prok..."
Raja Awacela bertepuk tangan, meski tanpa kata-kata, wajah baginda
menunjukkan rasa bangga yang luar biasa pada ketiga putranya,
"Hari
ini aku tidak risau lagi dengan kehidupan kalian kelak. Nilai luhur
yang kalian dapatkan cukup menjadi pembuktian bahwa kalian sudah mampu
hidup dalam kehidupan." Baginda diam sejenak.
"Tahta,
harta, semua bisa hilang dalam sekejap. Tak usah khawatir dengan segala
hal di dunia selama kalian bisa menangkap keluhuran kehidupan maka
kehidupan menjadi milik kalian."
Dan
demikianlah, sejak saat itu ketiga putra raja sering keluar istana
untuk belajar kehidupan yang sebenarnya. Menemukan nilai-nilai luhur
yang tersembunyi di balik kisah kehidupan rakyat biasa. Dan segenap
rakyat Kerajaan Maranata tak lagi mengkhawatirkan kebijakan dan
kabajikan penerus tahta Raja Awacela...
inspiratif
BalasHapus