Menjadikan sekolah tanpa kekerasan. Mungkinkah?
Membaca judul di atas mungkin kita akan bertanya-tanya. Apa bukan berarti memaafkan segala pelanggaran yang dilakukan siswa? Apakah seorang guru dilarang keras kepada siswa-siswanya? Bayangkan kita menghadapi siswa-siswa dengan kelakuan sebagai berikut.
1. Andi ketahuan membolos bersama-sama gangnya. Bukan hanya sekali dua kali tetapi beberapa kali.
2. Slamet sudah semingguan tidak berangkat sekolah. Alasannya takut dengan guru TIK-nya yang memberikan banyak tugas.
3. Maria mengadu ke guru BK karena diolok- olok temannya.
4. Maman dilaporkan karena dianggap melakukan pemalakan terhadap teman-temannya.
5. Toni ketahuan membawa HP ke sekolah tanpa ijin. Dan celakanya di dalam HP tersebut ditemukan konten-konten yang tidak pantas.
Kalau dilanjutkan masih 1001 persoalan yang dihadapi sekolah tiap hari. Apakah kita (dalam hal ini guru) senantiasa bersikap lembut atau kadangkala harus bersikap tegas bahkan cenderung kasar terhadap siswa-siswanya.
Dalam tulisan ini, akan diketengahkan mengenai konsep sekolah tanpa kekerasan. Bahkan konsep sekolah tanpa hukuman. Bagaimana mungkin? Marilah kita kaji perlahan-lahan.
Menjadikan Sekolah Sebagai Sahabat Siswa
Seorang sahabat tidak akan menyakiti. Seorang sahabat akan mengingatkan ketika temannya melakukan kesalahan. Boleh jadi seorang sahabat akan berkata keras, tetapi tidak akan bersikap kasar dia tidak akan meninggalkan. Seorang sahabat akan selalu ditunggu dan kita akan nyaman ketika bersamanya.
Keadaan berbeda ketika melihat seorang anak yang bergegas meninggalkan rumahnya di pagi hari dan kemudian segera meninggalkan sekolah sesaat setelah bel berbunyi. Hal ini bisa menjadi indikasi bahwa anak tersebut tidak menjadikan rumah sebagai tempat yang nyaman. Demikian juga sekolah bukan sebagai tempat yang bersahabat bagi mereka. Kebahagiann mereka tidak berada di antara kedua tempat tersebut. Hal ini sangat disayangkan, mengingat dari 24 jam waktu mereka, hampir sepertiganya dihabiskan di lingkungan sekolah. Eksistensi mereka di sekolah diharapkan tidak sekedar raga yang dibuktika dengan catatan absensi namun diharapkan sebagai eksistensi batin yang akan diiringi dengan perasaan nyaman dan 'butuh' sekolah.
Demikian juga dari sudut pandang sebaliknya, suatu sekolah tak seharusnya hanya tampak sebagai sebuah benda mati berupa bangunan besar tempat belajar. Dari setiap sudut ruang, dan sudut pandang manapun bangunan yang bernama sekolah harus "berjiwa" . Siapakah yang dapat menghadirkan jiwa bagi sekolah?
0 komentar:
Posting Komentar